KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah yang maha kuasa karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya makalah ini bisa diselesaikan. Shalawat serta salam
semoga selamanya tarcurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. Semoga kita semua
mendapat syafaat di hari akhir nanti,Amin.
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada dosen
pembimbing Ilmu Tauhid yang telah memperkenankan kami untuk menulis makalah
ini. Dan ucapan terima ksih kepada seluruh pihak yang telah mendukung
penyelesaian makalah ini. Tanpa bantuan mereka makalah ini tidak akan
terealisasikan.
Islam merupakan agama yang paling mulia di sisi Allah.
Didalamnya terdapat ajaran-ajaran yang menuntun umat manusia kedalam
keridhoannya. Ajaran-ajaran islam yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits
diphami secara berbeda oleh tiap orang, sehingga memunculkan aliran-aliran
teologi. Dalam makalah ini dijelaskan secara umum tiga aliran yakni
Jabariyah,Qadariyah, dan Mu’tajilah. Ketiga aliran tersebut memiliki berbeda
pandangan tetapi tujuan mereka adalah sama untuk memahami Tuhan Allah Swt.
Bandung,
Oktober 2010
penyusun
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama
dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah
aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika
berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh
perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral
dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang
menyerukan kepada masalah keimanan.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan
yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat
Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi
melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring
dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal
memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis,
perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang
muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang
ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah,
keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi
yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang
kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan.
Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah,
Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta
aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah, Qadariyah dan Mu’tajilah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara
singkat dan umum tentang aliran Jabariyah, Qadariyah dan
Mu’tajilah. Mencakup
di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya
secara umum.
BAB
II
PEMBAHASAN
Secara
bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian
memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal
dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan
sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha
Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya
perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan
kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut
Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah.
Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak
berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena
tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah
adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun
mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya
penjelelasan yang sahih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham
ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama
membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan
dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapun tokoh yang mendirikan aliran
ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat
yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun
pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah
bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang
panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Harun
Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat
jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang
diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka
kepada paham fatalisme.
Terlepas
dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri
banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya
paham Jabariyah, diantaranya:
a.
QS ash-Shaffat: 96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b. QS al-Insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”
Selain
ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam
beberapa peristiwa sejarah:
·
Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah
Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut,
agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai
takdir.
·
Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika
diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku
mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang
itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada
orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera
karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
·
Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam
kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila
perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan,
tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha
dan Qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat
berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak
ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi
orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
·
Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang
tumbuh berkembang di Syiria.
Di samping
adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap
ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar
muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama
Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.
Dengan
demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam
dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang
bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah.
Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam
melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah
sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah,
keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian
menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin
Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa
kepada Tasybih.
Adapun
ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Diantara
tokohnya adalah Jahm bin Shofwan dengan
pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm
tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang
surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat
Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah.
Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati,
dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam
Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti
berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan
indera mata di akherat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah
atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin
Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran
adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah.
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara,
melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan
demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah,
tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai
kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah.
Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan
kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam
perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah
yang moderat. Yaitu Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh
yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil
bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak
dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat
lainnya) berpendapat bahwa Tuhan dapat saja
dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.
Pengertian Qadariyah
secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan
dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah.
Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.
Menurut
Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham
Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Sejarah
lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar
teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh
Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah
menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin,
aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada
mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama
Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham
Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah
Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah
sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah
dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul
Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya
untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah
itu tertampung dalam Muktazilah.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang
ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya.
Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan
sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam
menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat
berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia
dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun
berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang
dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di
akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu
didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu
sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan
tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah
berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu
paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan
sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah
yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali,
yaitu hukum yang dalam istilah Alquran
adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki
takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat bebuat lain, kecuali
mengikuti hukum alam. Misalnya manusia
ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang
di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah
yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk
menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah
banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu :
4 (#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/ ÇÍÉÈ
“Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki
sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
“Sesungguhnya
Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan
tidak akan merobah Keadaan mereka], selama mereka tidak merobah sebab-sebab
kemunduran mereka. yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
Mengenai arti dan asal-usul kata
Mu’tazilah terdapat beberapa versi yang dikemukakan oleh para ahli ilmu kalam.
Diantaranya sebagai berikut:
a. Menurut
Al-Syahrastani, kata Mu’tazilah muncul dari peristiwa yang terjadi antara Wasil
bin Atha’ bersama temanya Amr Ibn Ubaid dan Hasan Basri di Basrah. Wasil selalu
aktif mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Hasan Basri di Masjid
Basrah. Pada suatu hari salah seorang yang mengikuti pengajian bertanya kepada
Hasan Basri tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar. Mengenai oarang
yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij memandang mereka itu kafir, sedangkan
kaum Murji’ah memandang mereka tetap mukmin. Sementara Hasan Basri sedang
berfikir, Wasil mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang melakukan dosa besar
bukanlah kafir dan bukan pula orang mukmin. Setelah itu ia berdiri menjauhkan
diri dari Hasan Basri lantaran mereka tak sependapat dengannya, lalu pergi ke
tempat lain di mesjid itu juga. Disana ia membentuk pengajian sendiri dan
mengulangi pendapatnya. Atas peristiwa ini, Hasan Basri berkata: “ wasil
menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna). Kemudian mereka disebut Mu’tazilah,
artinya orang yang menjjauhkan diri”.
b. Menurut
Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada kurang lebih 100 tahun sebelum
tetrjadinya perselisihan pendapat Wasil bin Atha dengan Hasan Basri di masjid
Basrah. Golongan
yang disebut Mu’tazilah pada waktu itu adalah mereka yang tidak ikut melibatkan
diri dalam pertikaian sepeninggal khalifah Utsman bin Affan wafat. Kelompok
yang bertikai yaitu Thalhah dan zubair di satu pihak dengan khalifah Ali bin
Abi Thalib di lain pihak, juga antara Ali dengan Mu’awiyah. Perselisihan itu
muncul karena pembunuhan atas diri khalfah Utsman bin Affan, dan karena pro dan
kontra terhadap pengangkatan Ali sebagai khalifah. Meskipun persoalan itu
bersifat politik, namun mempunyai corak agama, sebab dalam islam persoalan
hidup sosial, ekonomi, politik, dan sebagianya bercorak agama.
Golongan
yang tidak ikut pertikaian itu mengatakan, “ kebenaran tidak mesti ada pada
salah satu pihak yang bertikai, melainkan keduanya-keduanya bisa salah,
sekurang-kurangnya tidak jelas siapa yang benar. Sedangkan agama hanya
memerintahkan memerangi orang-orang yang menyeleweng, maka kami harus
menjauhkan diri ( i’tazalna).
Golongan
yang menjauhkan diri ini memang dijumpai dalam buku-buku sejarah. Al- Thabari
umpanya menyebuutkan bahwa sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagian
Gubernur pada zaman khalifah Ali bin Abi Thallib, ia menjumpai pertikaian
disana, satu golongan turut padanya, dan satu golongan lagi melarikan diri ke
Kharbita (i’tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya yang ia kirimkan kepada
khalifah, Qais menamai mereka Mu’tazilin. Kalau Al-Thabari menyebut nama
Mu’tazilin, Abu Al-Fida menyebutnya Mu’tazilah.
Dalam
bukkunya Al-Munawar wal amal ahmad bin al-Murthada menulis bahwa aliran
Mu’tazilah itu sendiri yang memberikan nama tersebut untuk dirinya, dan mereka
tidak menyalahi ijma, bahkan memakai apa yang telah diijma’kan pada masa
pertama Islam. Kalau mereka menjauhi sesuatu, maka pendapat-pendapat baru dan
bid’ah-bid’ah itulah yang mereka jauhi (i’tajalu-ha). Kemudian sebutan
mu’tazilah itu disandarkan pada ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw, antara lain
Surat Al-Muzamil ayat 10. Sebutan yang lebih disenangi oleh kaum mu’tazilah
sebenarnya adalah Ahlu al-adli wa al-Tauhid (golongan keadilan dan Tauhid).
Golongan
Ahlusunnah menyebut aliran Mu’tazilah dengan sebutan Al-Mu’attahilah. Mula-mula
sebutan ini diberikan kepada aliran Jahamiah, karena aliran ini mengosongkan
Tuhan dari sifat-sifatnya (‘atthala = mengosongkan). Karena sifat-sifat Tuhan
dipersoalkan keberadaanya oleh alliran Mu’tazilah, maka mereka juga disebut
Mu’ataahilah.
a.
Wasil bin Atha (80-131 H). Wasil bin Atha al-Ghazal
terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah, sekaligus sebagai pemimpinya yang
pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakan prinsip pemmikiran
Mu’tazilah yang rasional.
b.
Al-Allaf (135-235 H). Nama lengkapnya adalah Abdul
Huzail Muhammad abu Al-Huzail Al-Allaf. Disebut Al-Allaf karena ia tinggal di
kampung penjual makanan binatang (allaf = makanan binatang). Ia sebagai
pemimpin Mu’tazilah yang kedua di Basrah. Ia banyak mempelajari filsafat
Yunani. Pengetahuanya tentang filsafat memudahkan baginya untuk menyusun
dasar-dasar ajaran Mu’tazilah secara teratur. Pengetahuanya tentang logika,
membuat ia menjadi ahli debat. Lawan-lawanya dari golongan zindiq (orang yang
pura-pura masuk islam), dari kalangan Majusi,zoroaster, dan ateis tak mampu
membatah argumentasinya. Menurut riwayat, 3000 orang masuk islam di tanganya.
Puncak kebesaranya dicapai pada masa khalifah Al-Ma’mun, karena khalifah ini
pernah menjadi muridnya.
c.
Bisyir Al-Mu’tamar ( wafat 226 H). Ia adalah
pemimpin aliran Muta’zilah di Bagdad. Pandanganya yang luas mengenai
kesusastraan menimbulkan dugaan bahwa ia orang yang pertama menyusun ilmu
Balaghah. Ia adalah seorang tokoh aliran ini yang membahas konsep tawallud
(reproduction) yaitu batas-batas
pertanggungjawaban manusia atas perbuatanya. Bisyir mempunyai murid-murid yang
besar pengaruhnya dalam penyebaran paham Mu’tazilah, khususnya di Bagdad.
d.
An- Nazzham ( 184-221 H). Nama sebenarnya adalah
Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazzham. Ia juga bergaul dengan para filosof.
Pendapatnya banyak berbeda dengan aliran Mu’tazilah lainnya. An-Nazzaham
memilliki ketajaman berfikir yang luar biasa, antara lain tentang metode
keraguan (method of doubt) dan metode empirika yang merupakan cikal bakal
renaissance (pembaharuan) di eropa.
e.
Al-Jubba’i (302 H). Nama lengkapnya Abu ali Muhammad
abn abdul Wahhab Al-Jubba’i . sebutan
al-Jubba’i diambil dari mana tempat kelahiranya, yaitu suatau tempat
bernama Jubba, di provinsi Chuzestan-Iran. Al-jubba’i adalah guru Imam
Al-asyari keluar dari barisan Mutazilah dan menyerang pendapatnya, ia membalas
serangan Al-Asy’ari tersebut. Pikiran-pikiranya tentang tafsiran Al-Qur’an
banyak diambil oleh Az-zamakhsyari. Al-Jubba’i dan anaknya yaitu Abu Hasyim Al
Jubba’i mencerminkan akhir kejayaanya aliran Mu’tazilah.
f.
Al-Khayyat (wafat 300 H). Abu Al-Husaein al-Khayyat
termasuk tokoh mu’tazilah Bagdad. Bukunya yang berjudul al-intishar berisi
pembelaan aliran mu’tazilah dari serangan Ibnu ar-Rawandi. Ia hidup pada massa
kemunduran aliran Mu’tazilah.
g.
Al-Qadhi Abdul jabbar (wafat 1024 H). Ia dianngkat
sebagai kepala hakim oleh Ibnu Abad. Di antara karyanya yang besar adalah
ulasan tentang pokok-pokok ajaran mu’tazilah. Karangan tersebut demikkian luas
dan amat mendalam yang ia namakan Al-Mughni. Kitab ini begitu besar, satu kitab
yang terdiri dari lima belas jilid. Al-Qadhi Abdul Jabbar termasuk tokoh yang
hidup pada masa kemunduran aliran mu’tazilah, namun ia mampu hidup berprestasi
baik dalam bidang ilmu maupun dalam jabatan kenegaraan.
h.
Az-Zamakhsyari (467-538 H). Nama lengkapnya adalah
Jarullah Abl Qasim Muhammad bin Umar. Ia dilahirkan di desa Zamakhsyari,
Khawarizm, Iran. Sebutan Jarullah artinya tetangga allah, karena beliau lama
tinggal di Makkah, dekat Ka’bah. Ia terkenal sebgai tokoh dalam ilmu tafsir,
nahwu (gramatika) dan paramasastra (lexiology). Dalam karanganya ia dengan
terang-terangan menonjolkan paham mu’tazilah, misalnya dalam kitab Tafsir
Al-Kassyaf, ia berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan
ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama lima prinsip ajaranya yang akan diuraikan
pada pasal berikutnya. Selain itu kitab Al-Kassyaf diuraikan dalam ilmu
Balaghah yang tinggi, sehingga para mufassirin banyak menggunakanya hingga saat
ini.
Ada
lima pokok ajaran (Al-Ushul Al-Khosam) yang menjadi primsip utama aliran
mu’tazilah. Kelima ajaran pokok tersebut adalah:
Pertama : At- Tauhid (Ke-Mahaesaan allah)
Ajaran
dasar yang terpenting bagi kaum mu’tazilah adalah at-Tauhid atau ke-Mahaesaan
allah. Bagi mereka, Allah
baru dapat dikatakan Maha Esa jika merupakan zat yang unik, tiada ada sesuatu
pun yang serupa dengan dia. Oleh karena itu kaum mu’tazilah menolak paham
Anthropomerphisme, yaitu paham yang menggambarkan Tuhan menyerupai mahluknya.
Mereka juga menolak paham Beautific Vision, yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat
dilihat manusia. Satu-satunya sifat Tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada
pada mahluknya adalah sifat qadim. Paham ini mendorong kaum mu’tazilah untuk
meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud sendiri diluar dzat tuhan.
Menurut paham ini tidak berarti Tuhan yang diberi sifat-sifat Tuhan yang
mempunyai wujud sendiri diluar dzat tuhan. Menurut paham ini tidak berarti
Tuhan tidak diberi sifat- sifat. Tuhan bagi kaum Mu’tazilah tetap maha tau,
maha hidup, maha mellihat, maha mendengar, maha kuasa, dan sebagainya, tetapi
itu tidak dapat dipisahkan dari dzat tuhan, dengan kata lain sifat-sifat itu
merupakan esensi tuhan dan sebagian esensi lain sebagai perbuatan-perbuatan
tuhan. Bagi kaum mu;tazalah paham ini mereka munculkan karena keinginan untuk
memelihara kemurnian ke mahaesaan tuhan.
Kedua : Al – Adl (keadilan)
Jika
dalam ajaran pertama kaum Mu’Tajilah ingin mensucikan tuhan dari persamaan
dengan mahluk_Nya, maka ajaran kedua ini mereka ingin mensucikan perbuatan
tuhan dari persamaannya dengan perbuatan mahluk. Hanya tuhan yang berbuat adil
seadil-adilnya. Tuhan tidak mungkin berbuat dzalim.
Dalam
menafsirkan keadilan, mereka mengatakan sebagai berikut: “Tuhan tidak
menghendaki keburukan dan tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa
mengerjakan sendiri segala perintah_Nya dan segala larangana_Nya dengan kodrat
atau kekuasaan yang dijadikan oleh tuhan pada diri mereka. Ia hanya memerintahkan apa yang
dikehendaki_Nya. Ia menghendaki kebaikan-kebaikan yang ia perintahkan dan tidak
campur tangan dalam keburukan-keburukan yang dilarang.
Semua
perbuatan tuhan bersifat baik. Tuhan dalam paham kaum Mu’Tajilah tidak mau
berbuat buruk, bahkan menurt salah satu golongan, tuhan tidak bisa (la yaqdir) berbuat buruk (zhulm) karena perbuatan yang demikian
hanya dilakukan oleh orang yang bersifat tidak sempurna, sedang tuhan beersifat
Maha Sempurna.
Ketiga: Al- Wa’ad
wa Al-Wa’id (janji dan ancaman)
Ajaran
ini merupakan lanjutan dari ajaran yang kedua tentang keadilan tuhan kaum
Mu’tajilah yakin bahwa tuhan pasti akan memberikan pahala .dan akan menjatuhkan
siksa kepada manusia di akhirat kelak. Bagi mereka, Tuhan tidak dikatakan adil
jika ia tidak memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan tidak
menghukum orang yang berbuat jahat. Keadilan menghendaki supaya orang yang
berssalah diberi hukuman berupa neraka, dan yang berbuat baik diberi hadiah berupa
surga sebagai mana dijanjikan Tuhan.
Pendiri
ini bertentangan dengan kaum Murji’ah, yang berpendapat bahwa kemaksiatan tidak
mempengaruhi iman dan tak mempunyai kaitan dengan pembalasan. Kalau pendapat ini
dibenarkan, maka ancaman tuhan tidak akan ada artinya. Hal yang demikian
mustahil bagi Tuhan. Karena itu kaum Mu’tajilah mengingkari adanya syafa’at
(pengampunan) pada hari kiamat, karena syafa’at menurut mereka berlawanan
dengan prinsip janji dan ancaman.
Ke empat: Al-
Manzilah bainal manzilatain (posisi diantara dua posisi)
Prinsip
ke empat ini juga erat kaitannya dengan prinsip keadilan tuhan. Pembuat dosa
bukanlah kafir karena mereka masih percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi
mereka bukan pula mukmin, karena iman mereka tidak lagi sempurna.
Karena
bukan mukmin, para pembuat dosa besar tidak dapat masuk surga dan tidak masuk neraka, karena mereka bukan kafir.
Yang adil mereka ditempatkan diatara surga dan neraka. Akan tetapi, karena di
akhirat tidak ada tempat selain surga dan neraka, maka mereka harus di masukkan
kedalam salah satu tempat ini. Penempatan ini bagi kaum Mu’tazilah berkaitan
dengan paham Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka bukan hanya pengakuan
dan ucapan, tetapi juga perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak
beriman, tidak pula kafir seperti disebut terdahulu. Berawal dari jalan tengah
yang di ambil untuk menentukan posisi orang yang melakukan dosa besar, kemudian
berlaku juga dalam bidang lain.
Berdasarkan
sumber-sumber keislaman dan filsafat Yunani, kaum Mu’taziah lebih memperdalam
pemikirannya mengenai jalan tengah tersebut, sehingga menjadi prinsip dalam
lapangan berfikir (ratio). Prinsip jalan tengah ini nampak jelas dalam usaha
mereka untuk mempertemukan agama dengan filsafat.
Ke lima: Amar
Ma’ruf nahi Munkar (menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk)
Mengenai
hal ini kaum Mu’tazilah berpendapat sama dengan pendapat golongan-golongan umat
islam lainnya. Walaupun ada perbedaan hanya pada segi pelaksanaannya, apakah
seruan untuk berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu dilakukan dengan lunak
atau dengan kekerasan.
Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk
sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut. Akan tetapu sewaktu-waktu jika perlu dengan kekerasan.
Dalam sejarah, mereka menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran
mereka. Bagi kaum Mu’tazilah orang-orang yang menyalahi pendirian mereka
dianggap sesat dan harus diluruskan.
Karena
keberanian dan keyakinan mereka dalam memegang hasil pemikiran akal, mereka
hanya mau menerima dalil-dalil naqli yang bagi mereka sesuai dengan akal
fikiran.
Pandangan
kaum Mu’tazilah terlalu menitikberatkan penggunaan akal pikiran (ratio) dinilai
oleh sebagian umat islam bahwa mereka meragukan bahkan tidak percaya akan
kedudukan wahyu. Kesalahfahaman terrhadap aliaran Mu’tazilah timbul, karena
buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi pada perguruan – perguruan
islam, kecuali pada permulaan abad ke-20 ini.
Terlepas
dari pandangan orang terhadap ajaran-ajaran aliran Mu’tazilah itu salah atau
benar, yang jelas kehadiran kaum Mu’tazilah banyak membela kemajuan umat islam.
Dalam hal ini Ahmad Amin Dan Abu Zahrah mengakui dan menghargai jasa-jasa kaum
Mu’tazilah
dalam membela islam terhadap serangan-sarangan dari luar islam yang terjadi
pada zaman mereka.
Dalam
sejarah perkembangannya aliran Mu’tazilah pernah mengalami masa kejayaan,
terutama pada masa kahalifah Al-Ma’mun, namun karena kaum Mu’tazilah sering
memaksakan kehendakannya dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran mereka, maka
lambat laun mereka kurang mendapat simpati dari sebagian umat islam. Apalagi
setelah timbulnya suatu peristiwa yang memperdebatkan apakah Al-qur’an itu qadim atau baru (mahluk yang diciptakan).
Persoalan ini memecah kaum muslimin menjadi dua golongan, yaitu golongan yang
memuja kekuatan akal fikiran , dan yang berpegang teguh pada nash-nash Alqur’an
dan Dan hadits, yang menganggap tiap-tiap yang baru itu Bid’ah dan Kafir.
Dengan
kekuasaannya, A-mutawakkil, yang menjadi khalifah tahun 232 H, lawan
Mu’tazilah, umat islam diserukan untuk mempercayai keQadiman Al-Qur’an. Sejak
saat itu kaum Mu’tazilah mengalami tekanan berat. Buku-buku karangan dan
kekuatannya dicerai-beraikan, terutama pada waktu Mahmud Gaznawi, seorang sunni
dan termasuk penganut mazhab Syafi’i berkuasa dan memasuki kota Rai (iran) pada
tahun 393 H. Beratus-ratus buku tentang aliran Mu’tazilah di perpustakaan
dibakarnya.kejadian ini tentu saja merupakan kerugian ilmiah yanng sukar
dinilai. Aliran
Mu’tazilah sebagai satu golongan yang kuat, berangsur-angsur melemah dan
mengalami kemunduran total sesudah golongan Al-Asy’ari yang didukung pemerintah
mengalahkan mereka dalam berbagai bidang.
Setelah
aliran Mu’tazilah tidak berjaya lagi, dunia fikir islam di bawah kekuasaan
konservatif kurang lebih 1000 tahun lamanya mengalami stegnasi sampai datang masa
kebangunan baru (renaissance) di
eropa. Renaissance ini ditandai dengan dua corak metode, yaitu keraguan (cartesian method of doubt = syak) dan
Empirika. Dua metode ini sebenarnya telah dipakai oleh orang-orang Mu’tazilah,
antara lain An-Nazzham dan Al-Jahiz jauh sebelum munculnya renaissance. hanya
metode ini pada aliran mu’tazilah didasarkan kepada agama, sedangkan
renaissance menggunakan metodenya semata-mata berdasarkan akal fikiran.
Setelah
sekian lamanya ajaran-ajaran Mu’tazilah tenggelam dalam dunia fikir islam, atas
pengaruh Jamaluddin Afgani danSyakh Muhammad Abduh, dua tokoh modernisma dalam
islam, keadaan diatas berangsur berubah. Terlebih di zaman modern dan kemajuan
ilmi pengetahuan dan teknologi sekarang ini ajaran-ajaran Mu’tazilah yang
bersifat rasional itu muncul kembali dikalangan umat islam, terutama kaum
terpelajar. Secara tidak disadari mereka meneapkan metode pemikiran rasional
Mu’tzilah tanpa memegang 5 prinsip ajarannya secara utuh.
- Simpulan
Islam
merupakan agama yang memberikan rahmat bagi semesta alam,sehingga islam ajaran
yang tidak memaksa umatnya. Berhubungan dengan masalah teologoi islam banyak
teolog-teoleog islam yang memiliki berbagi pandangan mengenai islam, dan yang dibahas dalam makalah ini ada
tiga aliran yang memahami tuhan menurut pandangan mereka masing-masing yaitu
aliran Jabariyah,Qadariyah, dan Mu’tajilah.
Pemahaman
mereka tentang teologi berbeda, aliran Jabariyah mengatakan bahwa manusia itu
dikendalikan oleh tuhan dan manusia tidak bisa menentang ataupun membantah
kehendak yang sudah digariskan Allah kepadanya sejak zaman azali(aliran
ekstrim), dan menurut paham moderat jabariyah manusia memiliki andil dalam
melakukan perbuatannya tetapi itupun sudah digariskan oleh Allah SWT.
Aliran
Qadariyah memahami teologi dengan menganggap bahwa manusia sendirilah yang
dapat menentukan perbuatannya, baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan buruk
berdasarkan pada surat Ar-Ra’du ayat 11. Sementara Aliran Mu’tajilah lebih
mementingkan kemurnian sifat-sifat tuhan yang
tidak bisa disamakan dengan mahluknya. aliran Mu’tajilah juga mempunyai
lima ajaran pokok yang dijadikan landasan bagi pemahaman mereka.
Apapun
perbedaan pendapat dikalangan teolog-teolog Islam, itu semua semata bertujuan
untuk memajukan umat Islam ke arah yang lebih baik dalam seluruh aspek kehidupan
ummat Islam, terbukti mereka selalu membela demi kemajuan umat Islam.
Daftar Pustaka
·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar